Bagaimana Harga Coret Mempengaruhi Perilaku Konsumen? Ini Penjelasan Psikologisnya
Saat Anda menjual produk digital seperti ebook atau ecourse, satu hal yang sering kali menjadi tantangan adalah bagaimana menciptakan persepsi nilai di mata calon pembeli. Tidak seperti produk fisik, konsumen tidak bisa "menyentuh" atau "merasakan" produk digital sebelum membeli. Maka dari itu, strategi visual dan komunikasi menjadi kunci.
Salah satu pendekatan paling klasik, namun masih sangat efektif adalah harga coret. Anda pasti sering melihat harga seperti Rp497.000 dicoret, lalu digantikan dengan Rp147.000 dan disertai teks "promo terbatas hari ini". Tapi mengapa strategi sederhana ini bisa sedemikian ampuh?
Jawabannya berkaitan erat dengan sebuah fenomena psikologis yang telah lama dimanfaatkan dalam dunia pemasaran, baik secara offline maupun online.
Apa Itu Strategi Harga Coret dan Mengapa Masih Relevan?
Harga coret, atau dalam istilah teknis dikenal sebagai "strike-through pricing", adalah teknik menampilkan dua harga secara berdampingan harga lama yang dicoret, dan harga baru yang lebih murah. Teknik ini memanfaatkan ilusi perbandingan yang secara tidak sadar membuat otak konsumen berkata: "Wah, ini murah banget!"
Namun ini bukan sekadar soal angka. Ini menyentuh pada sesuatu yang lebih dalam: fenomena psikologis seperti anchoring effect (efek jangkar), urgency (rasa mendesak), dan loss aversion (takut kehilangan kesempatan).
Ketika seseorang melihat harga lama Rp497.000 lalu diganti menjadi Rp147.000, otaknya langsung menjadikan angka pertama sebagai patokan awal (anchor). Maka harga baru terasa lebih bernilai, meskipun pada kenyataannya harga asli produk digital itu bisa jadi memang Rp147.000 sejak awal.
Inilah yang membuat strategi ini terasa jujur, efisien, dan sangat powerful selama Anda menggunakannya dengan cara yang tepat.
Harga Coret dalam Produk Digital: Bukan Sekadar Diskon
Produk digital seperti ecourse bisnis online atau ebook pengembangan diri memiliki keunikan: margin keuntungannya tinggi karena tidak ada biaya produksi fisik. Tapi justru di situlah tantangannya bagaimana membuat orang mau membayar Rp100 ribu hingga Rp500 ribu untuk "file digital"?
Di sinilah harga coret bermain penting.
Harga coret membantu membentuk persepsi bahwa produk Anda sebelumnya memang bernilai tinggi, dan sekarang sedang dalam promosi terbatas. Ini menciptakan efek FOMO (Fear of Missing Out) yang sangat kuat bagian dari fenomena psikologis konsumen modern yang haus akan value dan takut kehilangan penawaran terbaik.
Contoh:
Anda menjual eCourse "Bisnis Online untuk Pemula". Alih-alih langsung mengatakan “Harga hanya Rp147.000”, Anda tampilkan:
Harga normal: Rp497.000 (Dicoret)
Sekarang hanya: Rp147.000 - Promo hanya berlaku 3 hari!
Kesan yang timbul di benak konsumen: produk ini sebelumnya dijual mahal, berarti isinya berkualitas. Dan sekarang sedang ada kesempatan emas untuk mendapatkannya dengan harga miring.
Menarik Traffic dari Facebook & Instagram: Bukan Soal Iklan, Tapi Visual dan Copy yang “Ngomong”
Salah satu kesalahan terbesar yang sering dilakukan pebisnis saat mempromosikan produk digital di Facebook dan Instagram adalah hanya mengandalkan visual yang cantik, tanpa strategi komunikasi yang menggugah.
Padahal, untuk membuat harga coret berfungsi maksimal, visual harus berbicara. Gambar atau video pendek Anda harus memperkuat pesan bahwa:
• Produk ini dulunya mahal
• Sekarang sedang promo
• Waktu atau stoknya terbatas
Misalnya, Anda bisa membuat feed post atau story dengan gaya countdown, disertai teks tegas:
“Dulu Rp497.000.
Sekarang cuma Rp147.000.
Tinggal 2 hari lagi sebelum harga naik!”
Tambahkan elemen warna merah untuk angka yang dicoret, dan warna hijau atau kuning untuk harga baru. Ini memicu respons visual emosional, bagian dari fenomena psikologis yang memengaruhi keputusan beli impulsif.
Di dalam caption, jangan lupa menambahkan CTA (Call-to-Action) seperti:
“Klik link di bio untuk join hari ini. Jangan tunggu harga normal kembali.”
Tapi tunggu dulu strategi ini belum selesai di sini. Anda butuh mengonversi traffic ke database, dan di sinilah WhatsApp masuk ke permainan.
WhatsApp sebagai Database Organik: Dimana Closing Terjadi
Banyak pebisnis digital lupa satu hal penting: platform seperti Facebook dan Instagram hanyalah tempat kumpul. Closing terjadi saat ada interaksi personal. Dan tidak ada yang lebih personal dari WhatsApp.
Maka dari itu, Anda perlu membuat funnel sederhana:
Iklan / konten edukatif → Klik link WhatsApp → Follow-up → Closing
Strategi harga coret di sini berfungsi sebagai magnet pemicu klik. Anda bisa buat format:
“Mau akses eCourse Bisnis Online yang sebelumnya dijual Rp497.000, tapi sekarang cuma Rp147.000?
Klik link ini dan tulis ‘Saya mau’, nanti tim kami bantu daftarkan via WhatsApp.”
Begitu prospek masuk ke WhatsApp, Anda bisa follow-up lebih dekat, kirim reminder, testimoni, atau bahkan timer untuk promo akan habis. Ini mengaktifkan fenomena psikologis urgency dan social proof secara langsung dan lebih intim.
Jangan hanya mengandalkan otomatisasi. Justru karena WhatsApp bersifat personal, gunakan kesempatan ini untuk membangun kepercayaan dan mendorong keputusan beli dengan pendekatan manusiawi.
Studi Kasus Mini: eCourse Bisnis Online “3 Hari Lunas”
Mari kita ilustrasikan strategi ini dalam skenario nyata.
Bayangkan Anda menjual eCourse berjudul “3 Hari Lunas: Bangun Income dari Jualan Online”, yang isinya panduan step-by-step untuk pemula.
Langkah 1: Siapkan value-nya. Normal price Rp497.000. Buat konten edukatif pendek tentang kesalahan pemula jualan online di Instagram.
Langkah 2: Buat campaign. Posting carousel di Instagram:
Slide 1 – Judul: Kenapa Jualan Kamu Belum Laku?
Slide 2 – Penyebab umum + solusi ringkas
Slide 3 – Soft promo: “Ada eCourse lengkap buat kamu, dulu Rp497rb, sekarang hanya Rp147rb selama 3 hari.”
Slide terakhir – CTA: Klik link WhatsApp di bio.
Langkah 3: Follow-up WhatsApp. Kirim pesan personal:
“Hi, saya Dita dari tim 3 Hari Lunas. Kamu tertarik ikut promo diskon eCourse ya? Promo berakhir besok malam jam 23.59. Boleh saya bantu prosesnya sekarang?”
Hasil: Anda akan mendapatkan leads berkualitas, interaksi langsung, dan potensi closing yang lebih tinggi karena mereka sudah “disiapkan secara psikologis” oleh harga coret dan urgensi promo.
Hindari Kesalahan Ini: Harga Coret Tanpa Konteks = Gagal Total
Meskipun strategi ini kuat, ia bisa menjadi bumerang kalau Anda:
• Selalu pakai harga coret, bahkan saat bukan promo
• Tidak memberikan alasan logis kenapa ada diskon
• Tidak ada batas waktu atau stok terbatas
• Tidak konsisten antara harga yang ditampilkan dan yang disebutkan di WA
Konsumen saat ini sudah jauh lebih cerdas. Jika mereka merasa harga coret adalah tipuan atau “trik murahan”, maka kepercayaan pun runtuh.
Ingat, fenomena psikologis yang Anda manfaatkan harus disertai dengan integritas. Harga coret adalah alat, bukan tipu daya.
Saatnya Anda Coba Sendiri
Sekarang Anda tahu bahwa strategi harga coret bukan hanya perkara mencoret angka, tapi soal memahami fenomena psikologis yang menggerakkan otak manusia dalam mengambil keputusan pembelian.
Dalam konteks produk digital seperti eCourse bisnis online atau ebook pengembangan diri, strategi ini bisa menjadi pembeda besar antara konversi tinggi dan akun sepi DM.
Gunakan Facebook dan Instagram untuk menarik perhatian. Gunakan WhatsApp untuk membangun kedekatan dan menutup penjualan. Dan gunakan harga coret untuk menciptakan persepsi value yang meyakinkan semua berbasis pemahaman mendalam tentang perilaku konsumen.
Tidak harus menunggu kampanye besar atau tim marketing profesional. Anda bisa mulai dari satu konten, satu penawaran, dan satu harga coret yang ditampilkan dengan niat baik dan strategi yang tepat.
Siap mencoba strategi ini minggu ini? Jika dilakukan konsisten, bukan tidak mungkin, produk digital Anda jadi sumber income utama di bisnis Anda.
Posting Komentar untuk "Bagaimana Harga Coret Mempengaruhi Perilaku Konsumen? Ini Penjelasan Psikologisnya"
Posting Komentar